MMC Kobar – Di era globalisasi dan teknologi informasi yang semakin modern saat ini membawa perubahan terhadap gaya hidup masyarakat. Promosi produk yang berlebih melalui berbagai media termasuk jejaring sosial yang disertai dengan testimoni yang berlebihan dapat menggiring masyarakat untuk lebih memilih produk dari segi tren, penampilan, efek yang cepat, cita rasa, serta harga yang murah.
Kondisi masyarakat seperti ini jika ditambah dengan pengetahuan yang belum memadai tentang obat dan makanan illegal dikhawatirkan dapat meningkatkan kecenderungan masyarakat untuk menggunakan produk tanpa memperhatikan legalitas, kualitas dan keamanannya.
Obat atau sering disebut produk terapetik merupakan produk farmasi yang sangat besar artinya bagi kesehatan manusia. Produk terapetik sangat pesat pertumbuhannya baik dalam jumlah maupun jenisnya. Produk terapetik tersebut mulai dari obat bebas sampai dengan golongan obat keras termasuk antibiotik.
Berdasarkan data hasil pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2018, dari 176 apotek di lima provinsi, sebanyak 83,52 persen apotek melakukan penyerahan antibiotika tanpa resep dokter. Hal ini berpotensi menyebabkan peredaran bebas antibiotika di masyarakat efek sampingnya merugikan kesehatan.
Dalam rangka mendukung peran BPOM sebagai bentuk implementasi Permenko PMK Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba tersebut, Loka BPOM Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) menggelar kegiatan Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE) Resistensi Antibiotik, Farmakovigilans dan Pengelolaan Sampah Obat di Aula Inspektorat, Selasa (16/08). Kegiatan ini diikuti sebanyak 47 peserta dari OPD lintas sektor terkait, organisasi profesi, sarana dan mahasiswa.
Kepala BPOM Kobar, Kodon Tarigan mengatakan bahwa tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai resistansi akibat antibiotik dan mengetahui bahaya terhadap penggunaan obat tradisional yang dicampur dengan bahan kimia.
“Masyarakat sekarang ini terbiasa membeli obat di warung dengan dosis yang tidak jelas, jadi kami harap melalui kegiatan ini masyarakat dapat berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter ataupun perawat sebelum mengkonsumsi obat tersebut,” ujar Kodon Tarigan.
Lebih lanjut Kodon Tarigan menjelaskan, BPOM juga mengeluarkan aplikasi Monitoring Efek Samping Obat (MESO) yang merupakan salah satu bentuk program farmakovigilans. Aplikasi MESO ini untuk mengetahui efektifitas dan keamanan penggunaan obat pada kondisi kehidupan nyata atau praktek klinik yang sebenarnya. (uzi/diskominfo kobar)